Oke, yang sekarang saya post di blog saya ini merupakan cerpen untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia kelas X semester 1. Selamat membaca...
Siang itu
sepulang sekolah gue dan Vania, pergi ke sebuah tempat untuk makan siang. Dan
seperti biasa kami pun berbincang-bincang seputar masalah pelajaran, teman,
cowok, dll. “Ra, nanti lo pulang bareng siapa?” tanya Vania. “Ya sama lo lah!
Emang gue mau puang sama siapa lagi? Sama patung gitu?” jawab gue yang masih
menikmati semangkuk ice cream. “Oh.. iya yah gue lupa. Dimas gak jemput lo?”
jawab Vania yang agak sedikit aneh. “Enggak, dia belum pulang kali. Emang
kenapa? Lo mau dijemput sama siapa?” jawab gue heran. “Sama pacar gue lah..”
jawabnya yang bikin gue makin heran, karena dia gak pernah cerita masalah
pacarnya sama gue. Dan setahu gue kemarin dia baru aja patah hati. “Ra, menurut
lo Fauzan orangnya gimana sih?” lanjutnya. “Menurut gue sih ya gitu, lo juga
kan tahu gimana kelakuan dia. Emangnya kenapa?” tanya gue yang mulai jadi kepo.
“Enggak, gue Cuma nanya kok.” Jawabnya santai. Pembicaraan itu pun berlalu, gue
dan Vania bergegas pulang karena hari mulai gelap.
Keesokan
harinya dan hari-hari berikutnya, setiap Vania ketemu gue atau pun teman kita
yang lain, Fauzan selalu menjadi topik pembicaraannya. Gue mulai bertanya-tanya
“Vania kenapa sih? Apa Fauzan deketin dia? Apa dia suka sama Fauzan? Atau
mereka jadian?” pertanyaan itu selalu mucul di pikiran gue setelah Vania
membicarakan tentang Fauzan. Kemarin-kemarin gue emang tahu Fauzan minta Vania
buat ngajarin dia matematika, tapi setelah itu gue gak tahu deh apa
kelanjutannya. Apa mungkin ini kelanjutannya?
Selanjutnya,
ketika bel pulang sekolah seperti biasa gue emang selalu nunggu Vania di
kelasnya, gue nanya sama dia “Van, emang lo ada apaan sih sama si Fauzan?”.
“Enggak Ra, gue gak ada apa-apa kok sama Fauzan. We just friend.” jawabnya ngeles. “Okelah, karena gue tahu jawaban yang
lo kasih selalu alas n bukan jawaban yang sebenarnya” gumam gue, gue kesel
karena gue gak mau sahabat gue deket sama cowok tengil kaya Fauzan. “Haha
jangan marah gitu dong Ra, gue cuma deket biasa kok sama dia.” Jawabnya
menenangkan gue. “Yayaya gimana lo deh Van. Pulang yuk? Sore nih..” ajak gue.
“Oke, bentar Ra gue beresin buku dulu” jawabnya dengan segera membereskan buku.
“Semuanya, gue duluan ya..” lanjutnya pada teman-teman sekelasnya. “Iya Van.
Titip Vania ya Ra, jangan sampai dia jatuh matanya kan merem mulu. haha” jawab
teman sekelas Vania. “Oke, tenang aja gue bakal kasih lakban matanya biar
melek.” Jawab gue, karena memang sahabat gue yang satu ini matanya sipit,
kebetulan dia keturunan China. “Apaan sih kalian, lihat nih mata gue melotot
gini di bilang merem. Huuu” jawab Vania yang mungkin kesel karena di ledek.
Hari
demi hari berlalu, Vania pun selalu bertanya-tanya tentang Fauzan. Dia bilang
Fauzan tobat lah, jadi baik lah, tapi yang jelas apa pun itu gue gak percaya
karena gue tahu gimana watak cowok tengil itu. Sayangnya Vania susah banget di
kasih tahu, dia udah terlalu percaya sama Fauzan. Dan akhirnya gue membiarkan
semua kejadian terjadi, karena gue yakin Vania akan sadar dengan sendirinya.
***
“Ra,
lo tahu gak? Sekarang gue punya pacar” kata Vania dengan raut wajah seperti
orang yang sudah bertemu dengan seorang pangeran yang sangat tampan. “Hah?
Siapa Van? Lo kok gak cerita sih sama gue.” Jawab gue yang masih sibuk nulis
tugas karena kebetulan kali ini Vania yang nyamperin gue ke kelas. “Ada deh,
gak akan gue kasih tahu ah..” jawabnya yang membuatku penasaran dan bertanya
dalam hati “Apa Fauzan orang yang dia maksud?”. “Ra, nanti antar gue ke kelas
ya? Buku gue ketinggalan nih.” Lanjut Vania. “Iya bentar, belum selesai nih.”
Jawab gue. Setelah itu gue mengantar Vania ke kelasnya untuk mengambil bukunya
yang tertinggal.
“Ada
yang tahu gak pacar Vania siapa? Soalnya dia gak ngasih tahu ke gue tuh siapa
pacarnya.” Tanya gue ke teman-teman sekelas Vania. “Pacar Vania? Fauzan..”
jawab salah seorang teman Vania. “Ih kamu apa sih? Aku sama Fauzan Cuma teman.”
Sangkal Vania. “Bohong tuh, tiap hari juga Fauzan kesini nyamperin Vania,
sampai-sampai ngebayangin punya anak sama Vania.” Jawab teman Vania. “Hahahaha
iya iya, maksih banget ya infonya! Jahat lo Van, masa bahagia gak bagi-bagi.”
Jawab gue. “Maaf Ra, gue juga baru mau nyerita kok sama lo.” Sahut Vania.
“Tenang aja kali, gue gak marah kok.” Jawab gue dengan tersenyum manis. Dan
kami pun segera pulang ke rumah.
***
Seminggu
berlalu, Vania cerita sama gue kalau dia lihat Fauzan pergi sama cewek lain.
Dia pun mulai menjauh dari Fauzan dan mencoba untuk melupakan Fauzan. Tapi
tetap saja Fauzan mendekati Vania, dalam hal ini gue gak mau ikut campur karena
gue gak mau terkena masalah juga. Dan seperti apa yang gue kira, Fauzan cuma
manfaatin Vania buat bantu dia ngisi soal-soal UTS. Sebelumnya gue sering berkirim pesan sama
salah seorang sahabat gue dan juga Vania waktu SMP. Dia juga gak nyangka kalau
Vania jadian sama Fauzan, dan dia juga gak negrti apa yang ada di pikiran Vania
sampai-sampai dia jadian sama Fauzan. Padahal dia juga tahu Fauzan itu orang
yang seperti apa. Kalau sudah seperti ini mau gimana lagi, gak ada orang yang
bisa mengembalikan semua yang telah terjadi menjadi seperti semula. Dan gue
cuma bisa bilang sama Vania kalau dia jangan terlalu mudah percaya sama
seseorang, karena belum tentu orang yang deketin dia punya niat yang baik,
mugkin orang itu cuma mau manfaatin Vania dalam hal pelajaran.
***
Beberapa
bulan berlalu dari kejadian itu, kali ini Vania kembali dekat dengan seorang
cowok yang bisa dibilang setipe sama Fauzan dia adalah Zaky. Waktu SMP dia
pernah satu kelas sama gue dan Vania, Zaky sering di panggil abang sama teman
sekelas gue di SMP. Gue makin gak ngerti sama apa yang ada di pikiran Vania.
Dia cuma bilang “Entahlah, yang gue tahu sekarang gue cuma sayang sama abang
gue.” Dan apapun yang terjadi sama Vania, gue pernah cerita tentang hal itu
sama Dimas, dia itu seseorang yang deket sama gue. Tanggapan Dimas tentang
masalah itu cuma “Ya udahlah biarin aja gimana maunya Vania, gak usah jadi
pikiran buat kamu. Kalo dia bukan yang terbaik buat Vania, nanti juga ada jalan
untuk membuktikan itu semua.” tapi gue gak bisa kaya gitu, Vania itu sahabat
gue dari SD, gue udah anggap dia kaya saudara kandung gue sendiri.
Suatu
saat, ketika gue dan Vania makan siang, dia cerita sama gue kalau Zaky suka
sama dia. Tapi, Zaky bilang itu ke Vania setelah Zaky punya pacar. “Kok bisa
gitu? Harusnya kan kalu dia suka sama lo, dia jadian sama lo bukan sama orang
lain Van.” Tanya gue. “Zaky bilang dia tuh sayangnya sama gue, dia jadian sama
pacarnya cuma karena kasihan soalnya cewek itu udah suka sama Zaky dari waktu
MOPD Ra.” Jawab Vania sambil menunjukkan isi pesan dari Zaky ke gue. “Terus lo
gak marah dia jawab kaya gitu?” tanya gue lagi. “Ya marah lah Rara, tapi gue
mau gimana lagi Zaky udah jadian sama cewek itu. Yang penting gue tahu dia
sayang sama gue.” Jawab Vania dengan penuh keyakinan. “Iya deh, gimana lo aja. Yang
penting lo seneng Van.” Jawab gue sedikit memberi ketenangan untuk Vania.
Seperti
biasa malamnya gue membicarakan masalah ini sama salah seorang sahabat gue
melalui pesan singkat. Dan apa yang ada di pikirannya sama seperti apa yang gue
pikirin, Zaky bakalan manfaatin Vania lagi. Dia juga bilang sama gue kalau gue
harus terus mengingatkan Vania.
***
Beberapa
minggu berlalu, hal yang gue takutkan akhirnya terjadi. Vania kembali galau
gara-gara cowok. Sepulang sekolah dia cerita sama gue, kalau Zaky tiba-tiba
ngirim dia pesan yang isinya “Masih banyak cowok yang sayang sama lo, lebih
baik gue mundur daripada gue tersakiti.” Gue gak ngerti apa maksud pesan itu,
yang gue tahu yang tersakiti itu Vania bukan dia! Vania telpon gue sambil
nangis “Ra, gue gak kuat, gue pengen nangis. Gue gak ngerti maksud Zaky apa.
Dia tiba-tiba ngejauh gitu dari gue..” kata Vania. “Udahlah Van, lo jangan
nangis. Lo gak pantes nangisin cowok kaya dia. Sekarang coba deh lo tanya
baik-baik Zaky kenapa, mungkin aja dia bakal kasih alasan sama lo.” Jawab gue
nenangin Vania yang lagi nangis.”Udah Ra, gue udah tanya sama dia. Jawaban dia
sama, dia bilang masi banyak cowok yang sayang sama gue. Dan gue jawab siapa?
Gak ada. Dan dia gak jawab gue lagi” jawab Vania tersedu-sedu. “Lo jangan
nangis gitu dong Van, gue jadi ikut sedih nih. Lo tenang ya, mungkin dia bukan
orang yan terbaik buat lo. Dan sekali lagi gue bilang lo jangan terlalu mudah
buat percaya sama orang Van.” Jawab gue yang ikutan pengen nangis juga, gue gak
tega lihat sahabat gue kaya gitu. “Iya Ra, makasih ya lo emang sahabat gue yang
paling baik.” Sambung Vania yang terdengar sudah sedikit tenang. “Iya Van,
sama-sama.” Balas gue, dan setelah itu telpon kami terputus. Gue gak tahu apa
sekarang Vania lagi apa, yang pasti gue berharap dia gak ngelakuin sesuatu yang
membahayakan.
Sampai
sekarang Vania belum dekat lagi sama cowok mana pun, mungkin dia takut apa yang
kemarin terjadi akan terulang lagi. Gue juga gak mau hal itu terjadi lagi, gue
gak mau sahabat gue tersakiti lagi. Dan gue harap siapa pun cowok yang nanti
dekat sama sahabat gue, dia gak akan melakukan hal yang sama seperti Fauzan dan
Zaky. Gue minta siapa pun yang bakal dekat sama sahabat gue jangan sakiti dia
lagi.
0 komentar:
Posting Komentar